Permata Di Tengah Danau— Sebuah Kisah dari huta Lontung, Pulo Samosir
oleh Parturi Batak Pos pada 30 November 2012 pukul 11:44 ·
...
Sungguh miris dan sangat memprihatinkan. Ketertinggalan pendidikan di huta Lontung ini sangat jauh terbelakang. Anak-anak yang masih bersekolah di Sekolah Dasar (SD) maupun Sekolah Menengah Atas (SMA) akhirnya tidak mempunyai wawasan luas tentang Iptek. Komputer dan aplikasi-aplikasi internet yang saat ini sudah biasa kita lihat dan kita digunakan, bagi anak-anak di huta Lontung, jangankan untuk mampu mengoperasikannya bahkan melihatpun jarang. Apakah keadaan yang seperti itu akan tetap berlanjut di huta Lontung-Pulo Samosir? Membiarkan anak-anak tetap mengikuti cara pikir orangtua mereka yang tidak mengerti Iptek, sehingga membuat anak-anak tetap berada pada ketertinggalan pendidikan, padahal mereka masih mempunyai jalan panjang untuk mengejar mimpi-mimpinya demi masa depan.
Apakah semangat kekanak-kanakan mereka untuk berkembang akan sirna di tengah jalan yang buntu dalam situasi seperti itu?
Namun untuk saat ini, beruntunglah anak-anak di huta Lontung-Pulo Samosir yang telah memiliki fasilitas perpustakaan sederhana di sebuah “Sopo Belajar Lontung” yang menyediakan buku-buku untuk mereka baca secara gratis. Sopo Belajar Lontung ini menjadi tempat anak-anak untuk belajar, membaca dan juga bermain. Didukung dengan adanya kegiatan-kegiatan Sopo Belajar Lontung setiap harinya, dan dengan adanya “Kreta Baca” bagi anak-anak Samosir yang tempat tinggalnya masih terbilang jauh dari Sopo Belajar tersebut. Semua itu dilakukan dengan harapan anak-anak Samosir tidak lagi tertinggal jauh akan perkembangan Iptek dengan teman-temannya yang tinggal di kota. Setelah Sopo belajar ini didirikan oleh ALUSI TaoToba, anak-anak yang tinggal di huta Lontung menyempatkan diri datang ke Sopo Belajar untuk membaca sebelum mereka pergi ke sawah ataupun ke ladang, walau terkadang dimarahi oleh orangtua mereka karena kelamaan di Sopo Belajar.
Dengan demikian, secara perlahan anak-anak Samosir akan terbiasa berhadapan dengan buku-buku, baik itu cerita anak, ensiklopedi anak atau buku-buku lainnya yang dapat dimengerti oleh mereka. Sehingga dengan membaca, anak-anak Samosir akan semakin mengetahui pentingnya pendidikan itu. Dengan adanya Sopo Belajar Lontung ini menjadi penghubung secara perlahan-lahan bagi anak-anak Samosir agar lebih mampu berkembang mencapai masa depan mereka yang cerah.
**
Kisah tentang perjalanan Sopo Belajar Lontung ini telah didokumentasikan dalam sebuah film dokumenter oleh Andi Hutagalung, seorang film maker dari Kota Medan. Dan film yang diberi judul “Permata di tengah Danau” ini berhasil menduduki posisi sebagai karya film dokumenter terbaik film dokumenter unggulan, dan mendapat penghargaan khusus dari Dewan Juri Festival Film Dokumenter Bali 2012, di Sanur, pada Sabtu 04 Agustus lalu.
Film dokumenter “Permata di tengah Danau” ini berhasil menjadi yang terbaik setelah menyisihkan 11 nominasi film dari 20 judul karya para sineas film dokumenter, demikian diumumkan pada malam penganugerahan FFD di Sanur, Denpasar, ketika itu.
Film dokumenter terbaik yang dikerjakan selama hampir seminggu itu dinilai memenuhi unsur teknik, artistik, dan pesan utama yang mengisahkan mengenai keprihatinan dan kepedulian Togu Simorangkir, perantau yang mapan di Jakarta dan akhirnya kembali ke tanah Batak, untuk mendirikan sanggar belajar yang diberi nama "Sopo Belajar Lontung".
Sanggar itu kemudian berhasil meretas keterbatasan akses anak - anak desa terhadap informasi dan pengetahuan melalui buku - buku. Mereka diajak menyelaraskan diri dengan alam, didasari niat untuk melahirkan permata - permata yang berani bermimpi dan tak pernah surut.
**
(Ria Sitorus/berbagai sumber)
BATAK POS, Sabtu 24 November 2012



Sungguh miris dan sangat memprihatinkan. Ketertinggalan pendidikan di huta Lontung ini sangat jauh terbelakang. Anak-anak yang masih bersekolah di Sekolah Dasar (SD) maupun Sekolah Menengah Atas (SMA) akhirnya tidak mempunyai wawasan luas tentang Iptek. Komputer dan aplikasi-aplikasi internet yang saat ini sudah biasa kita lihat dan kita digunakan, bagi anak-anak di huta Lontung, jangankan untuk mampu mengoperasikannya bahkan melihatpun jarang. Apakah keadaan yang seperti itu akan tetap berlanjut di huta Lontung-Pulo Samosir? Membiarkan anak-anak tetap mengikuti cara pikir orangtua mereka yang tidak mengerti Iptek, sehingga membuat anak-anak tetap berada pada ketertinggalan pendidikan, padahal mereka masih mempunyai jalan panjang untuk mengejar mimpi-mimpinya demi masa depan.
Apakah semangat kekanak-kanakan mereka untuk berkembang akan sirna di tengah jalan yang buntu dalam situasi seperti itu?
Namun untuk saat ini, beruntunglah anak-anak di huta Lontung-Pulo Samosir yang telah memiliki fasilitas perpustakaan sederhana di sebuah “Sopo Belajar Lontung” yang menyediakan buku-buku untuk mereka baca secara gratis. Sopo Belajar Lontung ini menjadi tempat anak-anak untuk belajar, membaca dan juga bermain. Didukung dengan adanya kegiatan-kegiatan Sopo Belajar Lontung setiap harinya, dan dengan adanya “Kreta Baca” bagi anak-anak Samosir yang tempat tinggalnya masih terbilang jauh dari Sopo Belajar tersebut. Semua itu dilakukan dengan harapan anak-anak Samosir tidak lagi tertinggal jauh akan perkembangan Iptek dengan teman-temannya yang tinggal di kota. Setelah Sopo belajar ini didirikan oleh ALUSI TaoToba, anak-anak yang tinggal di huta Lontung menyempatkan diri datang ke Sopo Belajar untuk membaca sebelum mereka pergi ke sawah ataupun ke ladang, walau terkadang dimarahi oleh orangtua mereka karena kelamaan di Sopo Belajar.
Dengan demikian, secara perlahan anak-anak Samosir akan terbiasa berhadapan dengan buku-buku, baik itu cerita anak, ensiklopedi anak atau buku-buku lainnya yang dapat dimengerti oleh mereka. Sehingga dengan membaca, anak-anak Samosir akan semakin mengetahui pentingnya pendidikan itu. Dengan adanya Sopo Belajar Lontung ini menjadi penghubung secara perlahan-lahan bagi anak-anak Samosir agar lebih mampu berkembang mencapai masa depan mereka yang cerah.
**
Kisah tentang perjalanan Sopo Belajar Lontung ini telah didokumentasikan dalam sebuah film dokumenter oleh Andi Hutagalung, seorang film maker dari Kota Medan. Dan film yang diberi judul “Permata di tengah Danau” ini berhasil menduduki posisi sebagai karya film dokumenter terbaik film dokumenter unggulan, dan mendapat penghargaan khusus dari Dewan Juri Festival Film Dokumenter Bali 2012, di Sanur, pada Sabtu 04 Agustus lalu.
Film dokumenter “Permata di tengah Danau” ini berhasil menjadi yang terbaik setelah menyisihkan 11 nominasi film dari 20 judul karya para sineas film dokumenter, demikian diumumkan pada malam penganugerahan FFD di Sanur, Denpasar, ketika itu.
Film dokumenter terbaik yang dikerjakan selama hampir seminggu itu dinilai memenuhi unsur teknik, artistik, dan pesan utama yang mengisahkan mengenai keprihatinan dan kepedulian Togu Simorangkir, perantau yang mapan di Jakarta dan akhirnya kembali ke tanah Batak, untuk mendirikan sanggar belajar yang diberi nama "Sopo Belajar Lontung".
Sanggar itu kemudian berhasil meretas keterbatasan akses anak - anak desa terhadap informasi dan pengetahuan melalui buku - buku. Mereka diajak menyelaraskan diri dengan alam, didasari niat untuk melahirkan permata - permata yang berani bermimpi dan tak pernah surut.
**
(Ria Sitorus/berbagai sumber)
BATAK POS, Sabtu 24 November 2012


